“Tema Hardiknas kita Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan sub tema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti,” ungkap Sekjen Kemendiknas Dodi Nandika dalam jumpa pers di Kantor Kemendiknas Jakarta.
Pendidikan Budi Pekerti menjadi tema yang diusung Kemdiknas tahun ini. Aplikasinya, kurikulum akan diperpadat dengan mata pelajaran budi pekerti/ pendidikan karakter. Seberapa praktikalnya gagasan ini?
Definisi Pendidikan Karakter
Karakter merupakan akumulasi atawa produk yang terintegral dari didikan rumah/orang tua, pergaulan dengan kawan sebaya di lingkungan, kondisi sosial ekonomi lingkungan sekitarnya (rumah, sekolah, tempat les, tempat mengaji, dll), dan faktor-faktor psikologis lainnya, seperti: status sosial, kecerdasan emosi/ spiritual, usia, dll.
Sekolah adalah satu dari sekian banyak faktor penentu karakter siswa. Dan ketika sekolah menjadi “institusi penilai” karakter ini, maka pertanyaan yang timbul adalah: aspek karakter yang mana yang akan dinilai dan diajarkan?
Apakah siswa yang diam dan sopan ketika mata pelajaran Budi Pekerti (namun di luar jam pelajaran tersebut dia ndugal) akan mendapat nilai bagus, dan siswa yang secara fisik terlihat sangat ugal-ugalan (karena faktor keluarga yang broken home, misalnya) akan mendapat nilai jelek?
Ataukah nilai akan diambil dari ujian tulis (baik berupa hafalan, maupun ujian essay)? Seberapa representatif nilai ini menggambarkan baik/buruknya karakter peserta didik? Apakah siswa yang essaynya baik bisa dianggap berkarakter baik pula?
Jika karakter dinilai dari sikap keseharian siswa selama di sekolah, maka siapa dan bagaimanakah sistematika penilaian ini? Akankah ada guru yang diam-diam menjadi “petugas penilai karakter” ? Seperti apakah raportnya nanti?
Tambah mata Pelajaran: Tambah Beban Siswa
Dengan kurikulum KTSP saat ini, siswa SD-SMA di Indonesia memiliki beban rata-rata jam belajarnya 6 jam perhari di sekolah. Beberapa sekolah bahkan menambahkan jam pelajaran atau memangkas beberapa mata pelajaran muatan lokal untuk bisa disisipi TIK, Bahasa Mandarin, Bahasa Arab, Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan sebagainya.
Menambah satu mata pelajaran lagi, berarti menambah beban jam pelajaran, dan menambah beban siswa. Terlebih lagi, menambah beban guru wali kelas untuk menulis raport siswa. (FYI, raport sekarang terdiri dari 2-3 halaman A4, berisi nilai dan definisi nilainya, ditulis tangan, satu persatu)
Karakter: Learning by Doing and Copying
Pendidikan karakter bukanlah semata-mata mengenai pengetahuan, namun tentang kepribadian yang tecerminkan dalam perilaku sehari-hari. Pembangunan karakter (character building) merupakan tugas bersama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat/lingkungan sekitar. Menyerahkan sepenuhnya pendidikan karakter pada guru di sekolah merupakan hal yang mustahil.
Rumah/keluarga merupakan character builder utama dan pertama. Orang tua tidak bisa menuntut sekolah jika anaknya berkelakukan buruk, jika orang tua bahkan tidak pernah memantau dan mengajarkan langsung pendidikan karakter pada anak-anaknya. Pendidikan karakter tidak cukup dengan ceramah dan nasihat. Terlebih adalah percontohan dan pengaplikasian. Jangan harap anak akan menjadi manusia yang peduli terhadap sekitar jika orang tua bahkan tidak mempedulikan anak-anaknya (dengan menyerahkan pengasuhan anak pada baby sitter). Jangan harap anak akan menjadi manusia yang menghormati dan menghargai sesamanya jika orang tua bahkan tidak pernah mendengar keinginan dan pendapat anak.
Demikian pula masyarakat sekitar tempat sang anak bermain dan bersosialisasi, meniru, mencontoh, dan menerapkannya dalam diri mereka. Kondisi sosial lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang keras, maka kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi berkarakter keras dan kurang lembut hatinya. Jika anak tumbuh dalam lingkungan yang mengedepankan prestasi sebagai prestise, maka secara tidak langsung akan memicu dia menjadi pribadi yang berkarakter kompetitif dalam hal yang positif.
Dan terakhir, sekolah sebagai lingkungan akademis dan sosial bagi anak, harus juga memberikan kondisi yang kondusif bagi pembentukan karakter baik anak. Membudayakan untuk menghormati yang lebih tua, menghargai pendapat orang lain, bersikap demokratis, tidak diskriminatif, dan mendorong siswa untuk lebih kompetitif dalam prestasi daripada dalam hal posesi (kepemilikan harta benda). Guru sebagai sebagai contoh terdekat dengan siswa adalah main agent untuk menyebarkan teladan ini, dengan cara:
1. memanggil siswa dengan nama aslinya (bukan nama sebutan). Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kepercayaan diri siswa dan kebanggaan akan identitasnya.
2. Mengelompokkan siswa (dalam kelompok belajar) secara heterogen, untuk membiasakan siswa menghargai keberagaman.
3. Mengapresiasi pendapat siswa dengan tidak memotong perkataanya ketika mengemukakan pendapat.
4. Mengkonsultasi siswa yang berlaku kurang baik tanpa mencelanya langsung di depan teman-teman kelasnya.
5. Membudayakan kejujuran, baik ketika berbicara dan ketika ujian,
6. Membiasakan antre di manapun: kantin, akan masuk kelas, akan pulang,
7. Mengkonseling siswa yang suka berbicara kotor,
8. Melakukan pendekatan persuasif kepada siswa yang perilakunya kurang baik,
dikutip dari: http://blog.beswandjarum.com/arnissilvia/?p=498
_________________________________________________
Maka dengan demikian pesantren merupakan tempat yang ideal untuk membentuk intelektualitas dan karakter Generasi Islam. Karena lingkungan pesantren yang terbangun oleh kultur yang dipenuhi dengan nilai-nilai luhur yang didasarkan pada ajaran agama Islam dan menerapkan total quality control, yang artinya segala aktifitas dan gerak santri dapat terkontrol secara menyeluruh, serta efisiensi waktu yang memungkinkan untuk mengaplikasikan integritas kurikulum nasional dan kurikulum pesantren, mendidik, membina dan mengarahkan para santri. Lebih dari itu, dengan sistem asramanya mengharuskan santri dan guru menetap dalam satu kampus selama 24 jam, sehingga hal-hal yang harus dievaluasi dan dibenahi bisa segera teratasi.
Akhirnya, kita juga harus mengakui bersama bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang kontinyu dan holistik yang tidak bisa diserahkan dan dinilai oleh satu lembaga saja (pesantren), namun juga merupakan tanggung jawab bersama dengan keluarga dan masyarakat sekitar.