......أهلا وسهلا


FORUM SILATURAHMI DAN BERBAGI INFORMASI


Informasi: 0651-7126361 / FB:PESANTREN MODERN AL-MANAR ACEH BESAR





MENDIDIK KADER UMAT UNTUK KEJAYAAN BANGSA




(Ulee Kareng)
Lampermei, Cot Irie, Kr.Barona Jaya
Aceh Besar
Aceh - Indonesia
www.almanarkita.blogspot.com

Rabu, 12 Juni 2013

PESANTREN: KENDALA DAN HARAPAN

Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa sebagian besar pendidikan pesantren di Indonesia belum testandardisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi.
Dalam zaman yang ditandai dengan cepatnya perubahan di semua sektor dewasa ini, pesantren menyimpan banyak persoalan yang menjadikannya agak tertatih-tatih, kalau tidak malah kehilangan kreativitas, dalam merespon perkem-bangan zaman. Beberapa pesantren yang ada pada saat ini, masih kaku (rigid) mempertahankan pola salafiyah yang diang-gapnya sophisticated dalam menghadapi persoalan eksternal. Padahal, sebagai suatu institusi pendidikan, keagamaan, dan sosial, pesantren dituntut melakukan kontekstualisasi tanpa harus mengorbankan watak aslinya. Kenapa ini bisa terjadi?
Pertama, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dan hierarkis yang berpusat pada satu orang Kiai. Ihwal pendirian pesantren memang mempunyai sejarah yang unik. Berdirinya pesantren biasanya atas usaha pribadi kiai. Maka dalam perkem-bangan selanjutnya dia menjadi figur pesantren. Pola semacam ini tak pelak mengimplikasikan sistem manajemen yang otoritarianistik. Pembaruan menjadi hal yang sangat sulit dilakukan karena sangat (ber/ter)-gantung pada sikap sang kiai. Pola seperti ini pun akan berdampak kurang prospektif bagi kesinambungan pesantren di masa depan. Banyak pesantren yang sebelumnya populer, tiba-tiba “hilang” begitu saja karena sang kiai meninggal dunia.
Kedua, kelemahan di bidang metodologi. Telah umum diketahui bahwa pesantren mempunyai tradisi yang kuat di bidang transmisi keilmuan klasik. Namun karena kurang adanya improvisasi metodologi, proses transmisi itu hanya melahirkan penumpukan keilmuan. Dikatakan oleh Martin van Bruinessen, ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah. Jadi, proses transmisi itu merupakan penerimaan secara taken for granted. Muhammad Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama dan salah seorang intelektual Muslim dari kalangan pesantren NU, pernah mengkritik bahwa tradisi pengajaran yang mendapatkan penekanan di pesantren itu adalah fiqih (fiqh oriented), sehingga penerapan fiqih menjadi teralienasi dengan realitas sosial dan keilmuan serta teknologi kontemporer.
Ketiga, terjadinya disorientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memosisikan dirinya di tengah realitas sosial yang sekarang ini mengalami perubahan yang demikian cepat. Dalam konteks perubahan ini, pesantren menghadapi dilema antara keharusan mempertahankan jati dirinya dan kebutuhan menyerap budaya baru yang datang dari luar pesantren. Kalau oleh MM. Billah pesantren diberi ciri kontekstual, yaitu ciri-ciri lingkungan sekitar (sosial dan fisik) di mana pesantren berada, yang tersadap oleh dan memberi warna pada ciri-ciri pesantren, maka kini ciri kontekstual tersebut terjadi pemekaran, yang juga sudah mulai merambah ke desa. Pesantren dituntut melakukan reorientasi terhadap peran pendidikan, keagamaan, dan sosialnya. Kalau “tempo doeloe” ketika struktur komunal desa masih bertahan, hubungan pe­santren dengan masyarakat tampak begitu interaktif. Bahkan, pesantren dapat memerankan dirinya sebagai cultural broker, meminjam istilah Clifford Geertz. Bagaimana sekarang? Agaknya sudah menjadi fenomena umum, bahwa sebagian besar pesantren hanya kebagian peran melakukan konservasi atau cagar budaya.
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terdapat beberapa tantangan yang tengah dihadapi oleh sebagian besar pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu:
  1. Image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
  2. Sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
  3. Sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
  4. Aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
  5. Manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
  6. Kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
  7. Kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006)
Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren, yaitu:
  1. Tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
  2. Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
  3. Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santri. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia kini begitu luas. Sehingga, beranekaragam dan bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang sesuai. Karena itu, pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut,
  1. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues);
  2. Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial;
  3. Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development).
Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change.